Senin, 09 September 2013
ASUHAN KEPERAWATAN terbaru ...: Asuhan keperwatan pada anak Impetigo
ASUHAN KEPERAWATAN terbaru ...: Asuhan keperwatan pada anak Impetigo: ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN IMPETIGO I. DEFINISI Impetigo adalah salah satu contoh pioderma, yang menyerang lapisan epide...
Asuhan keperwatan pada anak Impetigo
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA ANAK
DENGAN
IMPETIGO
I.
DEFINISI
Impetigo adalah salah satu contoh
pioderma, yang menyerang lapisan epidermis kulit (Djuanda, 56:2005). Impetigo
biasanya juga mengikuti trauma superficial dengan robekan kulit dan paling
sering merupakan penyakit penyerta (secondary infection) dari Pediculosis,
Skabies, Infeksi jamur, dan pada insect bites (Beheshti, 2:2007).
II.
SINONIM
Impetigo krustosa juga dikenal sebagai
impetigo kontangiosa, impetigo vulgaris, atau impetigo Tillbury Fox. Impetigo
bulosa juga dikenal sebagai impetigo vesikulo-bulosa atau cacar monyet
(Djuanda, 56-57:2005).
III.
ETIOLOGI
Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus aureus
atau Group A Beta Hemolitik Streptococcus (Streptococcus pyogenes). Staphylococcus
merupakan pathogen primer pada impetigo bulosa dan ecthyma (Beheshti, 2:2007).
Staphylococcus merupakan bakteri sel gram positif dengan
ukuran 1 µm, berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak
teratur, kokus tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai juga bisa
didapatkan. Staphylococcus
dapat menyebabkan penyakit berkat kemampuannya mengadakan pembelahan dan
menyebar luas ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan
ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut adalah enzim dan yang lain berupa
toksin meskipun fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus dapat
menghasilkan katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin
eksfoliatif, toksik sindrom syok toksik, dan enterotoksin. (Brooks, 317:2005).
Streptococcus merupakan bakteri gram positif berbentuk
bulat, yang mempunyai karakteristik dapat berbentuk pasangan atau rantai selama
pertumbuhannya. Lebih dari 20 produk ekstraseluler yang antigenic termasuk
dalam grup A, (Streptococcus
pyogenes) diantaranya adalah Streptokinase, streptodornase,
hyaluronidase, eksotoksin pirogenik, disphosphopyridine nucleotidase, dan
hemolisin (Brooks, 332:2005).
IV.
EPIDEMIOLOGI
Impetigo terjadi di seluruh Negara di
dunia dan angka kejadiannya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Di Amerika
Serikat Impetigo merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai pada klinik
anak dan terbanyak pada daerah yang jauh lebih hangat, yaitu pada daerah
tenggara Amerika (Provider synergies, 2:2007). Di Inggris kejadian impetigo
pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia
5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan impetigo krustosa (Cole, 1:2007).
Pasien dapat lebih jauh menginfeksi
dirinya sendiri atau orang lain setelah menggaruk lesi. Infeksi seringkali
menyebar dengan cepat pada sekolah atau tempat penitipan anak atau juga pada
tempat dengan hygiene buruk atau tempat tinggal yang padat penduduk (Cole,
1:2007).
V.
FAKTOR PREDISPOSISI
o
Kontak
langsung dengan pasien impetigo
o
Kontak
tidak langsung melalui handuk, selimut, atau pakaian pasien impetigo
o
Cuaca
panas maupun kondisi lingkungan yang lembab
o
Kegiatan/olahraga
dengan kontak langsung antar kulit seperti gulat
o
Pasien
dengan dermatitis, terutama dermatitis atopik
(Sumber Beheshta, 2:2007).
VI. MANIFESTASI KLINIK
1). Impetigo Krustosa
Tempat predileksi tersering pada impetigo
krustosa adalah di wajah, terutama sekitar lubang hidung dan mulut, karena
dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Tempat lain yang mungkin terkena,
yaitu anggota gerak (kecuali telapak tangan dan kaki), dan badan, tetapi
umumnya terbatas, walaupun penyebaran luas dapat terjadi (Boediardja, 2005;
Djuanda, 2005).
Biasanya mengenai anak yang belum sekolah.
Gatal dan rasa tidak nyaman dapat terjadi, tetapi tidak disertai gejala
konstitusi. Pembesaran kelenjar limfe regional lebih sering disebabkan oleh Streptococcus.
Kelainan kulit didahului oleh makula
eritematus kecil, sekitar 1-2 mm. Kemudian segera terbentuk vesikel atau
pustule yang mudah pecah dan meninggalkan erosi. Cairan serosa dan purulen akan
membentuk krusta tebal berwarna kekuningan yang memberi gambaran karakteristik
seperti madu (honey
colour). Lesi akan melebar sampai 1-2 cm, disertai lesi satelit
disekitarnya. Lesi tersebut akan bergabung membentuk daerah krustasi yang
lebar. Eksudat dengan mudah menyebar secara autoinokulasi (Boediardja, 2005).
2). Impetigo Bulosa
Tempat predileksi tersering pada impetigo
bulosa adalah di ketiak, dada, punggung. Sering bersama-sama dengan miliaria.
Terdapat pada anak dan dewasa. Kelainan kulit berupa vesikel (gelembung berisi cairan
dengan diameter 0,5cm) kurang dari 1 cm pada kulit yang utuh, dengan kulit
sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih
yang berubah menjadi berwarna keruh. Atap dari bulla pecah dan meninggalkan
gambaran “collarette” pada pinggirnya. Krusta “varnishlike” terbentuk pada
bagian tengah yang jika disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan basah.
Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh (Yayasan Orang Tua Peduli,
1:2008).
Bila impetigo menyertai kelainan kulit
lainnya maka, kelainan itu dapat menyertai dermatitis atopi, varisela, gigitan
binatang dan lain-lain. Lesi dapat lokal atau tersebar, seringkali di wajah
atau tempat lain, seperti tempat yang lembab, lipatan kulit, ketiak atau
lipatan leher. Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi.
(Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008).
Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai
dengan gejala demam, lemah, diare. Jarang sekali disetai dengan radang paru,
infeksi sendi atau tulang. (Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008).
VI.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bila diperlukan dapat memeriksa isi
vesikel dengan pengecatan gram untuk menyingkirkan diagnosis banding dengan
gangguan infeksi gram negative. Bisa dilanjutkan dengan tes katalase dan
koagulase untuk membedakan antara Staphylococcus dan Streptococcus
(Brooks, 332:2005).
VII.
DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis atopi: keluhan gatal yang
berulang atau berlangsung lama (kronik) dan kulit kering; penebalan pada
lipatan kulit terutama pada dewasa (likenifikasi); pada anak seringkali
melibatkan daerah wajah atau tangan bagian dalam.
2. Candidiasis (infeksi jamur candida): papul
merah, basah; umumnya di daerah selaput lender atau daerah lipatan.
3. Dermatitis kontak: gatal pada daerah
sensitive yang kontak dengan zat-zat yang mengiritasi.
4. Diskoid lupus eritematus: lesi
datar(plak), batas tegas yang mengenai sampai folikel rambut.
5. Ektima: lesi berkrusta yang menutupi
daerah ulkus (luka dengan dasar dan dinding) dapat menetap selama beberapa
minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila infeksi sampai jaringan kulit
dalam (dermis).
6. Herpes simpleks: vesikel berkelompok
dengan dasar kemerahan yang pecah menjadi lecet tertutupi oleh krusta, biasanya
pada bibir dan kulit.
7. Gigitan serangga: Terdapat papul pada
daerah gigitan, dapat nyeri.
8. Skabies: Papula yang kecil dan menyebar,
terdapat terowongan pada sela-sela jari, gatal pada malam hari.
9. Varisela: Vesikel pada dasar kemerahan
bermula di badan dan menyebar ke tangan, kaki, dan wajah; vesikel pecah dan
membentuk krusta; lesi terdapat pada beberapa tahap (vesikel, krusta) pada saat
yang sama (Cole, 3:2007).
IX. KOMPLIKASI
Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit
dalam 2 minggu walaupun tidak diobati. Komplikasi berupa radang ginjal pasca
infeksi Streptococcus
terjadi pada 1-5% pasien terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi
oleh pengobatan antibiotic. Gejala berupa bengkak dan kenaikan tekanan darah,
pada sepertiga terdapat urine seperti warna the. Keadaan ini umumnya sembuh
secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul (Yayasan Orang Tua Peduli,
4:2008).
Komplikasi lainnya yang jarang terjadi
adalah infeksi tulang (osteomielitis), radang paru-paru (pneumonia), selulitis,
psoriasis, Staphylococcal scalded skin syndrome, radang pembuluh limfe atau
kelenjar getah bening (Yayasan Orang Tua Peduli, 4:2008).
X.PENATALAKSANAAN
1.Terapi nonmedikamentosa
Ø
Menghilangkan
krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit, disertai mengelupaskan
krusta dengan handuk basah
Ø
Mencegah
anak untuk menggaruk daerah lecet. Dapat dengan menutup daerah yang lecet
dengan perban tahan air dan memotong kuku anak
Ø
Lanjutkan
pengobatan sampai semua luka lecet sembuh
Ø
Lakukan
drainase pada bula dan pustule secara aseptic dengan jarum suntik untuk
mencegah penyebaran local
Ø
Dapat
dilakukan kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% pada impetigo krustosa.
Ø
Lakukan
pencegahan seperti yang disebutkan pada point XI di bawah
2.Terapi medikamentosa
a. Terapi topikal
Pengobatan topikal sebelum memberikan
salep antibiotik sebaiknya krusta sedikit dilepaskan baru kemudian diberi salep
antibiotik. Pada pengobatan topikal impetigo bulosa bisa dilakukan dengan
pemberian antiseptik atau salap antibiotik (Djuanda, 57:2005).
1). Antiseptik
Antiseptik yang dapat dijadikan pertimbangan dalam
pengobatan impetigo terutama yang telah dilakukan penelitian di Indonesia
khususnya Jember dengan menggunakan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) adalah triklosan 2%. Pada hasil penelitian didapatkan jumlah koloni yang
dapat tumbuh setelah kontak dengan triklosan 2% selama 30”, 60”, 90”, dan 120”
adalah sebanyak 0 koloni (Suswati, 6:2003).
Sehingga dapat dikatakan bahwa triklosan 2%mampu
untuk mengendalikan penyebaran penyakit akibat infeksi Staphylococcus aureus
(Suswati, 6:2003).
2). Antibiotik Topikal
Ø
Mupirocin
Mupirocin topikal merupakan salah satu antibiotik
yang sudah mulai digunakan sejak tahun 1980an. Mupirocin ini bekerja dengan
menghambat sintesis RNA dan protein dari bakteri. Pada salah satu penelitian
yang telah dilakukan dengan menggunakan mupirocin topikal yang dibandingkan
dengan pemberian eritromisin oral pada pasien impetigo yang dilakukan di Ohio
didapatkan hasil sebagai berikut:
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa penggunaan
mupirocin topikal jauh lebih unggul dalam mempercepat penyembuhan pasien
impetigo, meskipun pada awal kunjungan diketahui lebih baik penggunaan
eritromisin oral, namun pada akhir terapi dan pada evaluasi diketahui jauh
lebih baik mupirocin topikal dibandingkan dengan eritromisin oral dan
penggunaan mupirocin topikal memiliki sedikit failure (Goldfarb, 1-3).
Untuk penggunaan mupirocin topikal dapat dilihat
pada tabel berikut:
Ø
Fusidic
Acid
Tahun 2002 telah dilakukan penelitian terhadap
fusidic acid yang dibandingkan dengan plasebo pada praktek dokter umum yang
diberikan pada pasien impetigo dan didapatkan hasil sebagai berikut:
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa penggunaan
plasebo jauh lebih baik dibandingkan dengan menggunakan fassidic acid.
Ø
Ratapamulin
Pada tanggal 17 April 2007 ratapamulin telah
disetujui oleh Food
and Drug Administration (FDA) untuk digunakan sebagai pengobatan
impetigo. Namun bukan untuk yang disebabkan oleh metisilin resisten ataupun
vankomisin resisten. Ratapamulin berikatan dengan subunit 50S ribosom pada
protein L3 dekat dengan peptidil transferase yang pada akhirnya akan menghambat
protein sintesis dari bakteri (Buck, 1:2007).
Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan
pada 210 pasien impetigo yang berusia diantara 9 sampai 73 tahun dengan luas
lesi tidak lebih dari 100 cm2 atau >2% luas dari total luas badan. Kultur
yang telah dilakukan pada pasien tersebut didapatkan 82% dengan infeksi Staphylococcus aureus.
Pada pasien-pasien tersebut diberi ratapamulin sebanyak 2 kali sehari selama 5
hari terapi. Evaluasi dilakukan mulai hari ke dua setelah hari terakhir terapi,
dan didapatkan luas lesi berkurang, lesi telah mengering, dan lesi benar-benar
telah membaik tanpa penggunaan terapi tambahan. Pada 85,6% pasien dengan
menggunakan ratapamulin didapatkan perbaikan klinis dan hanya hanya 52,1%
pasien mengalami perbaikan klinis yang menggunakan plasebo (Buck, 1:2007).
Ø
Dicloxacillin
Penggunaan dicloxacillin merupaka First line
untuk pengobatan impetigo, namun akhir-akhir ini penggunaan dicloxacillin mulai
tergeser oleh penggunaan ratapamulin topikal karena diketahui ratapamulin
memiliki lebih sedikit efek samping bila dibandingkan dengan dicloxacillin.
Penggunaan dicloxacillin sebagai terapi topical pada impetigo sebagai berikut:
(Sumber: Primary Clinical Care Manual 2007)
b.Terapi sistemik
1). Penisilin dan semisintetiknya (pilih salah satu)
a.Penicillin G procaine injeksi
Dosis: 0,6-1,2 juta IU im 1-2 x sehari
Anak: 25.000-50.000 IU im 1-2 x sehari
b.Ampicillin
Dosis: 250-500 mg per dosis 4 x sehari
Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis4x sehari ac
c.Amoksicillin
Dosis: 250-500 mg / dosis 3 x sehari
Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis 3 x sehari ac
d.Cloxacillin (untuk Staphylococcus yang kebal
penicillin)
Dosis: 250-500 mg/ dosis, 4 x sehari ac
Anak: 10-25 mg/Kg/dosis 4 x sehari ac
e.Phenoxymethyl penicillin (penicillin V)
Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x sehari ac
Anak: 7,5-12,5 mg/Kg/dosis, 4 x sehari ac
2). Eritromisin (bila alergi penisilin)
Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x sehari pc
Anak: 12,5-50 mg/Kg/dosis, 4 x sehari pc
3). Clindamisin (alergi penisilin dan menderita saluran cerna)
Dosis: 150-300 mg/dosis, 3-4 x sehari
Anak > 1 bulan 8-20 mg/Kg/hari, 3-4 x sehari
4). Penggunaan terapi antibiotik sistemik lainnya
Pada penggunaan sistemik antibiotik lainnya yang dapat dipertimbangkan
adalah, sebagai berikut:
XI.PENCEGAHAN
Tindakan yang bisa dilakukan guna pencegahan
impetigo diantaranya :
1. Cuci tangan segera dengan menggunakan air
mengalir bila habis kontak dengan pasien, terutama apabila terkena luka.
2. Jangan menggunakan pakaian yang sama
dengan penderita
3. Bersihkan dan lakukan desinfektan pada
mainan yang mungkin bisa menularkan pada orang lain, setelah digunakan pasien
4.
Mandi
teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun dapat
mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitif)
5.
Higiene
yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap pendek dan
bersih
6.
Jauhkan
diri dari orang dengan impetigo
7.
Cuci
pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang lainnya.
Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau pengering yang
panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan disinfektan.
8.
Gunakan
sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang terinfeksi dan
cuci tangan setelah itu.
9.
(Sumber:
Northern Kentucky Health Department, 1:2005).
XII.PROGNOSIS
Pada umumnya baik.
LAPORAN KASUS
SMF
PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
I.IDENTITAS PENDERITA
Nama : -
Jenis Kelamin : -
Umur : -
Suku : -
Agama : -
Pekerjaan : -
Alamat : -
II.Keluhan Utama
Luka garukan di
regio lumbal posterior dekstra
- Riwayat Penyakit Sekarang
Menurut Mbah pasien mulai 10 hari yang lalu pasien
mengeluhkan gatal pada regio lumbal posterior dekstra, tanpa adanya keluhan
gatal di daerah lain.
Awalnya muncul vesikel, karena gatal, lalu digaruk
oleh pasien kemudian vesikel pecah dan menimbulkan kerak. Vesikel-vesikel
semakin lama semakin bertambah banyak dan menyebar. Pasien sudah dibawa berobat
ke dokter, diberi salep dan tablet namun keluhan tidak berkurang. Akhirnya
pasien berobat ke RSUD dr. SOEBANDI Jember.
- Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak
pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
- Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga yang tinggal bersama pasien saat ini tidak ada yang menderita
penyakit seperti ini.
- Riwayat Pengobatan
Pernah berobat ke dokter umum, lalu diberi salep dan tablet, namun keluhan
tidak berkurang.
- Riwayat Alergi
Pasien tidak punya riwayat alergi obat maupun
makanan, dan pasien tidak pernah melakukan pemeriksaan alergi sebelumnya.
III.PEMERIKSAAN FISIK
- Status Generalis
Kesadaran:
komposmentis
Keadaan Umum: baik
Kepala/Leher:
dalam batas normal
Thorak
Cor:
S1S2 tunggal, lain-lain dalam batas normal
Pulmo:
Vesikuler, Rh-/-, Wh -/-, lain-lain dalam batas normal
Abdomen: Soepel,
bising usus (+), lain-lain dalam batas normal
Ekstremitas: dalam
batas normal
Genitalia: dalam
batas normal
- Status Lokalis
Lokasi
: regio lumbal dekstra bagian posterior
Efloresensi : Pada pemeriksaan didapatkan lesi
kulit berupa papula berisi cairan keruh, tidak dikelilingi daerah eritematus,
selain itu juga ditemukan bekas bula yang pecah berupa kulit yang eritematus
dengan krusta tipis kecoklatan pada bagian tepi.
IV.RESUME
Seorang anak laki-laki 16 bulan, dating dengan
keluhan utama adanya luka garukan di regio lumbal dekstra bagian posterior.
Awalnya muncul vesikel, karena gatal, lalu digaruk
oleh pasien kemudian vesikel pecah dan menimbulkan kerak. Vesikel-vesikel
semakin lama semakin bertambah banyak dan menyebar. Pasien sudah dibawa berobat
ke dokter, diberi salep dan tablet namun keluhan tidak berkurang. Akhirnya
pasien berobat ke RSUD dr. SOEBANDI Jember.
Pada pemeriksaan fisik status lokalis di region
lumbal dekstra bagian posterior, didapatkan lesi kulit berupa papula berisi
cairan keruh, tidak dikelilingi daerah eritematus, selain itu juga ditemukan
bekas bula yang pecah berupa kulit yang eritematus dengan krusta tipis
kecoklatan pada bagian tepi.
V.DIAGNOSIS BANDING
- Dermatitis kontak
- Varicella
- Karbunkel
- Furunkel
VI.DIAGNOSIS KERJA
Impetigo Bulosa
VII.USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bila diperlukan dapat melakukan pemeriksaan isi vesikel dengan pengecatan
gram, lalu bias dilakukan uji katalase.
VIII.PENATALAKSANAAN
1.
Nonmedikamentosa
Menjaga
kebersihan, yaitu dengan :
-. Mandi teratur
dengan sabun mandi
-. Pakaian,
handuk, sprei, sering diganti dan dicuci air panas
-. Pakaian,
handuk, sebaiknya hanya digunakan oleh satu orang (tidak untuk digunakan
beramai-ramai)
-. Kontrol setelah
5-7 hari
2. Medikamentosa
Sistemik :
Eritromisin sirup 250 mg, 3 DD I ct
Topikal : Asam
Fusidat
IX.PROGNOSIS
Pada umumnya baik, pada pasien ini 5-7 hari kemudian tidak kontrol mungkin
saja sudah tejadi perbaikan sehingga menurut keluarga pasien tidak perlu
kontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Beheshti, 2007, Impetigo, a brief
review, Fasa-Iran: Fasa Medical School.
Buck, 2007, Ratapamulin: A New Option
of Impetigo, Virginia USA: University of Virginia Children’s Hospital.
Cole, 2007, Diagnosis and Treatment of
Impetigo, Virginia:University of Virginia School of Medicine.
Djuanda, 2005, Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Goldfarb,Randomized Clinical Trial of
Topical Mupirocin Versus Oral Eyitromycin for Impetigo, Ohio: University
School of Medicine.
NN, 2007, Primary Clinical Care Manual
2007,
Northern Kentucky Health Department, 2005,
Impetigo, Kentucky: Epidemiology Services, Northern Kentucky Health
Department.
Provider synergies, 2007, Impetigo
Agents, Topical Review, Ohio: Intellectual Property Department Provider
Synergies LLC.
Suswati. E, 2003, Efek Hambatan
Triklosan 2% Terhadap Pertumbuhan Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus
(MRSA), Jember: Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Yayasan Peduli Orang Tua, 2007, Impetigo,
Jakarta Selatan: Yayasan Peduli Orang Tua.
Langganan:
Postingan (Atom)